Oleh: Ignatius Aninam
YAPEN | MEPAGO.CO – Dalam sistem demokrasi yang sehat, lembaga legislatif—termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK)—ditempatkan sebagai bagian dari pilar penting pengawasan kekuasaan. Mereka adalah wakil rakyat yang dipercaya untuk menjaga arah pembangunan agar tetap berpihak pada kepentingan publik. Namun idealisme ini, sayangnya, perlahan tergerus oleh kenyataan di lapangan.
Pantauan awak media dalam beberapa waktu terakhir mengungkap gejala yang memprihatinkan: Sejumlah oknum anggota DPRK Kepulauan Yapen diduga terlibat langsung dalam pengaturan pembagian paket proyek di beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Yang membuat miris, intervensi ini dilakukan secara terang-terangan, nyaris tanpa rasa sungkan. Sebuah praktik yang tak hanya mencederai etika politik, tapi juga membahayakan integritas sistem pemerintahan daerah.
Ketika wakil rakyat mulai sibuk “bermain proyek”, wajar jika publik kemudian mempertanyakan niat sebenarnya dari para politisi tersebut. Apakah mereka duduk di kursi dewan untuk menjalankan amanat rakyat, atau sekadar memburu proyek demi balik modal kampanye? Apakah gaji dan tunjangan sebagai legislator belum cukup, hingga harus ikut mengatur distribusi pekerjaan yang seharusnya menjadi domain eksekutif?
Lebih jauh lagi, bila praktik semacam ini dibiarkan berlangsung, maka fungsi DPRD sebagai pengawas, pembuat peraturan daerah, dan penyalur aspirasi masyarakat akan berubah menjadi sekadar perpanjangan tangan kepentingan pribadi atau kelompok. Kepercayaan publik terhadap institusi legislatif pun akan semakin tergerus.
Pemerintah daerah harus berani bersikap. Integritas pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan pembangunan tidak boleh tunduk pada tekanan atau titipan politis. Begitu pula masyarakat sipil, media, dan aparat penegak hukum harus tetap bersuara dan aktif mengawasi agar ruang bagi korupsi dan penyalahgunaan kewenangan tidak semakin melebar.
DPRK bukanlah lembaga distribusi proyek. Mereka tidak seharusnya menjadi bagian dari proses yang rawan konflik kepentingan. Jika fungsi legislatif dikorbankan demi proyek, maka bukan hanya etika yang rusak, tapi masa depan daerah pun ikut terancam.
Tajuk ini adalah peringatan bagi semua pihak. Demokrasi lokal hanya akan sehat jika dijalankan dengan integritas, pengawasan yang kuat, dan komitmen untuk melayani, bukan mencari keuntungan pribadi. Suara publik yang menuntut kejelasan, transparansi, dan ketegasan bukanlah ancaman—melainkan bagian dari proses demokrasi itu sendiri. (**)