“Jangan Lupakan Sahabatmu”

Nasional717 Dilihat

Karna kemiskinan, dua orang anak Buya Syafii Maarif Meninggal Dunia” ( In Memoriam Buya)

Ketika membaca artikel tentang Buya Syafii Maarif yg meninggal tgl 26 Mei 2022, saya meneteskan air mata sedih. Seorang tokoh, guru bangsa & panutan, rupanya dibalik kebesaran namanya, ada cerita pilu tentang kemiskinan & kematian anaknya krn hidup dlm kesusahan.

Sebagian org yg membaca bait “kemiskinan” itu, ada yg marah, tdk percaya & sgt sedih..Tidak semestinya ia susah & miskin krn ia lulusan universitas top Amerika di Chicago & juga tokoh organisasi Muhammadiyah, dengan aset triliunan..

Sekali lg, Buya Syafi’i Maarif tdk semestinya hidup susah apalagi sampai2 anaknya meninggal krn tidak punya apa2 yg hrs di makan..Miris!!! Tp itulah fakta tentang seorang tokoh dgn reputasi jujur, humanis & penjaga moral bangsa, yg pergi menghadap yg khalik dgn cara mengagumkan.

“Solidaritas & Humanisme”

Berbagai kalangan ramai2 mempertanyakan kemana organisasi Muhammadiyah & bangsa ini, saat ada seorang tokoh yg hanya utk pangan begitu sulit, sementara aset organisasi yg ia pimpin, sangat lebih dari cukup membantunya..Begitupun dimana org2 kaya di negeri ini, yg hrsnya bisa membantunya..

Sejumlah pertanyaan itu, seolah mengiringi kepergian almarhum, yg pergi dgn tenang..Kendati bangsa yg ia tinggalkan, masih membutuhkan suara & “orchestrasinya” sblm ia pergi utk selamanya..Maklum bangsa yg ia tinggalkan tengah dlm keadaan tdk baik2 saja..

Atau mungkin Tuhan ingin di usianya yg sdh 87 thn, sdh cukup ia bersuara profetik utk bangsa yg bebal atau keras kepala..Suaranya ttg kemanusiaan toh dianggap “sampah” oleh otak2 bangsa yg sdg di libido kekuasaan..

Akhirnya kepergian Buya bisa kita tandai sbg – meminjam istilah seorang filosof “matinya tanda”. Atau bahasa yg lebih vulgar, bangsa ini telah kehilangan yg paling azasi yaitu solidaritas & humanisme..

Hidup Miskin Jalan Hidup”

Thn 2016, saat saya di Papua, musibah tidak terelakan menimpa saya..Sepulang mengunjungi kawan2 saya di Timor Leste, saya tiba di Papua dgn berita pemecatan sbg juru bicara Gubernur..Utk memperoleh posisi itu, saya hrs “berdarah-darah”..

Menulis buku ber tahun2, tinggal berpindah2 dari kos satu ke kos yg lain, meninggalkan anak istri di Jakarta & pengorbanan lain. Saat hidup tengah baik, beranjak bagus, bisa ngontrak disebuah ruko utk usaha & tinggal yg agak mahal, tiba2 saya hrs kehilangan pekerjaan paling vital..

Mata terasa gelap, pandangan buram & badan gontai, tdk tahu apa lagi yg hrs saya lakukan? Satu persatu teman menjauhi saya, ruko yg saya tempati hrs saya tinggalkn krn tdk mampu bayar, tdk mampu lg membayar uang sekolah anak & saya pun hrs menjalani hidup dgn pekerjaan baru..

Dua thn bukan waktu yg sebentar, saya berjuang utk kembali bangkit..Sebuah keajaiban datang, seorang sahabat asal Papua, mengajak saya utk mengadu nasib di amerika serikat..Tidak ingin menyia2kan kesempatan, saya pun menyambut ajakan kawan saya itu spt seorang malaikat menarik tangan saya utk bangkit dari keterpurukan..

2 thn di AS, sy mengunyah semua kesempatan itu, belajar dgn gigih sbg perantau..Alhmadulillah, kemiskinan yg begitu parah yg menimpa saya bisa saya lewati dgn baik walau tdk mudah..

Jujur saya trauma dgn kemiskinan krn pada thn 2006, anak saya yg ke-2 lahir dan lgsng meninggal lantaran saya memilih jd aktifis, sementara hidup saya begitu sgt terpuruk secara ekonomi..

Apa yg dirasakan Buya ttg hidup miskin hingga anak meninggal, juga pernah saya rasakan..Kepergiannya sbg seorang tokoh utk selamanya dgn meninggalkan jejak cerita pilu, (anaknya meninggal ) ikut membuat saya meneteskan air mata. (***)

Oleh: Lamadi de Lamato
Alumnus Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *