Oleh: Tamrin Sinambela
PIDEMANI | MEPAGO.CO – Siang ini, langit Waren membara. Panas menyengat menyelimuti kawasan Pelabuhan Pidemani, Waropen, saat kapal cepat Express Bahari 99B bersandar sekitar pukul 12.25 WIT, Jumat 18 Juli 2025.
Ratusan warga—anak-anak, orang tua, hingga para penumpang dengan barang bawaan—bergegas keluar masuk pelabuhan, berjalan kaki sejauh hampir 300 meter dari bibir dermaga menuju terminal. Sepanjang lintasan itu, tidak tersedia tempat berteduh, selain ruang tunggu terminal yang kurang perawatan.
Namun, mereka tetap melangkah. Semangat dan kebutuhan menjadi satu-satunya bekal untuk menantang panas yang membakar kulit.
Pertanyaannya sederhana namun mendesak:
Jika panas begini saja sudah menyiksa, bagaimana jika hujan deras mengguyur? Siapa yang akan melindungi mereka dari terpaan cuaca? Bagaimana dengan anak-anak, orang tua, dan barang bawaan yang rawan rusak?
Pelabuhan bukan sekadar titik singgah kapal. Ia adalah wajah pelayanan publik, gerbang pertama yang menyambut atau melepas masyarakat. Sayangnya, wajah itu kini tampak lusuh, memantulkan potret pelayanan yang belum berpihak pada kenyamanan rakyat kecil.
Ada beberapa langkah sederhana namun sangat dibutuhkan, antara lain:
- Pemasangan kanopi permanen sebagai jalur teduh dari dermaga ke terminal.
- Penyediaan shuttle atau troli barang untuk membantu penumpang, khususnya lansia dan ibu-ibu dengan anak.
- Penataan ulang kawasan pelabuhan agar ramah cuaca dan lebih manusiawi.
Apa yang terjadi di Pidemani adalah pengingat pahit bahwa pembangunan belum menyentuh aspek paling mendasar: kenyamanan dan perlindungan masyarakat.
Warga tidak hanya butuh kapal untuk menyeberang. Mereka juga membutuhkan pelabuhan yang layak, aman, dan bersahabat untuk menunggu.
Tajuk ini ditulis sebagai pengingat dan seruan kepada pemerintah pusat melalui kementerian terkait, Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Perhubungan, serta wakil rakyat di DPRP Papua agar tidak menutup telinga terhadap jeritan kecil dari tepi pelabuhan. (**)