SERUI | MEPAGO,CO – Pasca sidang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu terhadap Komisioner KPU dan Bawaslu Kabupaten Kepulauan Yapen pada 10 April 2025, dua penggugat, Kadir Salwey dan Nataniel Wainaribaba, menuntut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi tegas berupa pemberhentian tetap terhadap para teradu. Keduanya menilai materi persidangan telah menunjukkan cukup bukti atas pelanggaran yang dilakukan, dan menegaskan pentingnya keadilan bagi warga yang dirugikan dalam proses pemilu.
“Kami berharap majelis hakim yang terhormat di DKPP mengabulkan petitum kami dan memberikan putusan yang seadil-adilnya, yaitu pemberhentian tetap terhadap para komisioner KPU Kabupaten Kepulauan Yapen. Harapan masyarakat terhadap DKPP sangat besar, terlebih di tengah maraknya informasi yang beredar di masyarakat yang berpotensi mendelegitimasi penyelenggara pemilu,” ujar para penggugat.
Sidang dugaan pelanggaran kode etik terhadap Komisioner KPU Kabupaten Kepulauan Yapen dan Bawaslu Kabupaten Kepulauan Yapen, sesuai Perkara Nomor 263/PS.DKPP/SET-04/IV/2025, digelar pada tanggal 10 April 2025 di Kantor Bawaslu. Persidangan berlangsung selama kurang lebih delapan jam dan dihadiri oleh para pengadu serta Teradu I, II, III, IV, V dari pihak KPUD Kepulauan Yapen, serta Teradu VI, VII, dan VIII. Sidang juga diikuti oleh lima orang saksi yang dihadirkan oleh pengadu dan tiga pihak terkait dari KPU Provinsi Papua, Bawaslu Provinsi Papua, serta Partai Demokrat Kepulauan Yapen.
Sebagai lembaga yang memiliki tugas menjaga dan menegakkan kode etik penyelenggara pemilu, DKPP memiliki peran strategis dalam memastikan integritas dan keadilan dalam setiap proses pemilu. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 1 Ayat 24, yang menyatakan bahwa DKPP bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Dalam persidangan tersebut, para pengadu memaparkan sejumlah dugaan pelanggaran kode etik sebagai berikut:
- Teradu I–V diduga tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Kepulauan Yapen serta mengabaikan formulir keberatan dari saksi partai dalam pelaksanaan Pleno KPUD Tahun 2024, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129-01-14-33/PHPU.DPR-DPRD/XXII/2024.
- Teradu VI–VIII diduga tidak profesional dalam menindaklanjuti laporan pengaduan.
- Teradu I–V diduga lalai hingga menghilangkan Formulir C Hasil DPRD Kabupaten/Kota dari 7 TPS di Dapil I, Distrik Yapen Selatan, sebagaimana disebutkan dalam Putusan Bawaslu Provinsi Papua Nomor 001/TM/ADM.PL/BWSL.PROV/33.00/VII/2024.
- Dugaan penerimaan imbalan oleh Teradu I atas pengaturan suara yang difasilitasi oleh penyelenggara di tingkat Distrik (PPD Wonawa).
- Dugaan ketidakprofesionalan Teradu III, yang berdasarkan bukti rekaman berdurasi 36 detik dalam grup WhatsApp, menyebut DKPP sebagai “tikus kecil”, suatu pernyataan yang dinilai merendahkan martabat lembaga DKPP.
Kadir juga meminta agar DKPP mempertimbangkan ketentuan lain yang relevan, seperti Undang-Undang Kearsipan Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 13 dan 14, serta Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang gratifikasi, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang penyalahgunaan wewenang, khususnya terhadap Teradu I dan III.
Menutup keterangannya, Kadir yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Partai Ummat Kabupaten Mamberamo, bersama dengan Nataniel Wainaribaba, Wakil Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Kepulauan Yapen, menyampaikan harapan penuh agar DKPP memberikan putusan yang benar-benar adil dan tidak tebang pilih.
“Jika putusan hanya berakhir dengan teguran keras, maka ini menjadi preseden buruk dan mencerminkan ketidakprofesionalan majelis hakim DKPP dalam menangani perkara ini. Kami sebagai warga negara yang taat hukum berharap DKPP dapat memutuskan perkara ini secara objektif dan adil,” ujar Kadir kepada media.
Penulis: Ignatius Aninam
Editor: Tamrin Sinambela