Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menginisiasi program internasionalisasi. Bik di level strata satu maupun starta dua serta program staff and faculty exchange. FEB UGM juga tercatat memiliki para alumni yang kini menduduki berbagai jabatan penting di pemerintahan.
Salah satu alumni FEB UGM yakni Deputi bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK, Agus Sartono. Pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka Peringatan Puncak Dies Natalis ke-64, Agus berkesempatan menyampaikan orasi ilmiah bertajuk: “Bisnis Digital: Tren dan Perubahan Lanskap Keuangan.”
Rapat Senat Terbuka digelar di Auditorium Pusat Pembelajaran FEB UGM, Bulaksumur, Yogyakarta, Kamis (19/9/2019). Rapat dihadiri para guru besar, dosen, mahasiswa, alumni, tenaga kependidikan, dharma wanita dan mitra FEB UGM.
Dalam orasi ilmiahnya, Agus menyoroti perubahan lingkungan bisnis akhir-akhir ini yang diwarnai dengan munculnya berbagai perusahaan rintisan (start up). Start up memanfaatkan teknologi untuk menunjang bisnisnya. Perusahaan start up masih berumur sangat muda tetapi punya valuasi bisnis bernilai jutaan hingga miliran dolar.
Menurutnya, bisnis digital merupakan tren di kalangan masyarakat. Namun terdapat risiko yang tidak disadari masyarakat dan investor, terutama terkait dengan penilaian perusahaan semacam ini.
“Konsep penilaian bisnis yang diajarkan di sekolah bisnis nampaknya perlu dikaji lagi apakah masih sesuai dan dapat diterapkan untuk menilai perusahaan-perusahaan teknologi?” kata Agus dalam orasinya.
Selain itu, Agus juga menekankan perlunya kewaspadaan. Baik imbas maupun risiko yang akan dialami seiring bertumbuhnya aneka model bisnis digital.
Akses kemudahan permodalan atau pinjaman dari perusahaan Fintech misalnya, dapat mengancam keuntungan yang diperoleh dari layanan perbankan konvensional, baik sebagai layanan jasa perbankan maupun kredit. “Masyarakat juga perlu diedukasi bahwa kemudahan pinjaman itu tidak dipergunakan utk konsumsi tetapi untuk kebutuhan usaha misalnya,” ujarnya.
Dalam orasi ilmiah tersebut, Agus mengungkapkan kerisauannya terhadap model penilaian perusahaan. Selama ini corporate value dapat diukur menggunakan tiga indikator yakni, discounted cash flow model, multiple model, dan option pricing model.
Discounted cash model mensyaratkan adanya free cash flow yang positif. Persoalan muncul karena begitu banyak bisnis digital yang bahkan belum membukukan laba, tetapi nilai perusahaannya sangat tinggi.
Pendekatan kedua menggunakan pembanding perusahaan sejenis. Sayangnya, bisnis digital, start up maupun fintech sulit dicari perusahaan pembanding.