Keterbukaan Informasi Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

Ketua Komisi Informasi Provinsi Papua, Wilhelmus Pigai. FT : Ist)

MEPAGO.CO. JAYAPURA-Jika dilihat dari kenyataan sehari-hari, korupsi hampir terjadi pada setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari Kementerian, Lembaga, BUMN/BUMD, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu juga para aktornya, berasal dari berbagai kalangan, mulai dari politikus, pejabat, aparat penegak hukum, birokrasi hingga Swasta.

Demikian disampaikan Ketua Komisi Informasi Provinsi Papua, Wilhelmus Pigai dalam siaran pers yang dikirim keredaksi MEPAGO.CO, kemarin. Dikatakan, Hasil Indeks Persepsi Korupsi tahun 2019, berdasarkan peringkat korupsi di Indonesia, korupsi masih cukup tinggi. Kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik adalah dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang diperkirakan potensi kerugian negara mencapai Rp 16,8 triliun, kasus pembobolan Bank Bali Rp 400 Milyard dan Bank Century Rp 7 triliun.

Praktek Korupsi kerap terjadi dimasyarakat biasanya kata Wilhelmus berkenaan dengan Pengurusan Perijinan seperti Ijin Tambang, Ijin HGU, IMB, Ijin Usaha, Ijin Proyek, Pengadaan Barang dan Jasa hingga Penegakan Hukum. ‘’Tanpa disadari, praktek korupsi yg sering terjadi dimasyarakat muncul dari kebiasaan yang dianggap biasa dan wajar oleh masyarakat umum. Misalnya memberi hadiah, bingkisan, uang terima kasih kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa pelayanan,’’ ungkapnya.

Kebiasaan korupsi yang terus berlangsung dimasyarakat terjadi.  Salah satu penyebabnya bisa jadi karna kurangnya pemahaman sebagian masyarakat akan anti korupsi.

Berdasarkan UU No 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa kebiasaan perilaku koruptif yang dianggap sebagai hal wajar dan lumrah dapat dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Seperti pemberian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada Penyelenggara Negara dan berhubungan dengan jabatannya.

30 Jenis Bentuk Korupsi

Nah, jika tidak dilaporkan kepada KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ) dapat menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001, terdapat  tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi  diantaranya  adanya kerugian negara, suap menyuap, pengelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi. Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkarya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit  Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 Milyard. Meski sanksi pidana cukup berat bagi para koruptor, namun nyatanya praktik korupsi masih  subur di Indonesia.

Jika melihat hasil perkembangan kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  sejak tahun 2004 – 2019 terdapat 1.218 kasus yang masuk dalam proses Penyelidikan KPK. Dari jumlah itu masuk dalam tahapan Penyidikan 948 kasus, Penuntutan 789 kasus, Inkrach 650 kasus dan Eksekusi 676 kasus.

Sementara dilihat dari Jenis Perkara TPK yang ditangani KPK selama periode 2004 – 2019 sebanyak 1.008 kasus. Dari jumlah itu sebanyak 661 kasus merupakan kasus SUAP dan 205 kasus merupakan kasus pengadaan barang dan jasa. Sedangkan Instansi TPK yang ditangani KPK selama tahun 2004 – 2019 terdapat 801 kasus. ‘’Dari jumlah itu, sebanyak 363 kasus pada Kementerian dan lembaga (K/L), sebanyak 140 kasus pada pemerintah daerah kabupaten/kota dan sebanyak 132 kasus pada pemerintah provinsi.

Lanjutnya, praktik korupsi  itu sendiri  biasanya berkembang diarea-area gelap dan  tertutup. Karenanya, untuk mencegah tindakan/praktik korupsi, salah satu caranya adalah dengan membuka selebar-lebarnya pintu informasi dan transparansi. Rencana Program, Proses dan Alasan pengambilan suatu ” Keputusan publik” haruslah dibuka kepada Publik. Begitupun halnya dengan proses Pengadaan barang dan jasa, APBN, APBD haruslah dibuka kepada publik karena memang didalam UU No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi public (KIP) sebagai Informasi terbuka.

Dengan terbuka masyarakat akan TAHU  setiap Kebijakan Publik yang diambil Pemerintah atau Badan Publik Negara (eksekutif, legislative & Yudikatif)  dan Badan Publik Non Pemerintah terkait penggunaan APBN & APBD. Selain itu masyarakat juga terdorong untuk ikut berpartisipasi dalam mengawal setiap kebijakan dan penggunaan anggaran, sehingga Badan Publik (BP) termotivasi untuk bertanggungjawab dan berhati-hati dalam setiap pengambilan keputusan dan penggunaan anggaran.

Hal ini kata dia, sesuai dengan tujuan UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, diantaranya, (1) Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan keputusan publik, program kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan keputusan publik, dan  (2) mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik yaitu yang transparan, efektip dan efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan. Kondisi seperti ini diyakini akan mempercepat perwujudan pemerintahan terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah Praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Jika demikian, akan tercipta pemerintah yang baik (good governance. Di penjelasan  pembukaan UU KIP disebutkan bahwa keterbukaan informasi public merupakan salah satu jalan sebagai gerakan pencegahan korupsi diseluruh Badan Publik Pemerintah, BUMN, Perguruan tinggi, partai politik (PARPOL) maupun non pemerintahan. ‘’Hasil Monitoring Komisi Informasi Pusat tahun 2021,  menunjukkan  Badan Publik  tingkat Partisipasinya rendah,’’ katanya. (***)

Editor : Robin Sinambela

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *